maliki

SELAMAT DATANG DI BLOG MALIKI AL MISBAH

Jumat, 29 April 2011


Resensi Novel Ketika Cinta Bertasbih


Beberapa waktu yang lalu kangmoes membeli Novel Ketika Cinta Bertasbih. Tertarik dengan isi ceritanya, kangmoes jadi tertarik untuk menulis resensi novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) karya Habiburrahman El Shirazy (atau sering dipanggil kang Abik) yang terdiri dari 2 buku ini. Pada bagian sampul Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 kita bisa melihat warna dominan adalah warna kuning sedangkan pada Novel Ketika Cinta Bertasbih 2 warna yang paling dominan adalah warna hijau. Para penggemar novel kang Abik ini kemungkinan bisa menerka mengapa dibuat demikian.

Novel pertama lebih banyak bercerita dengan setting di Mesir. Sedangkan pada novel kedua, lebih banyak setting di Indonesia. Bagi orang yang mengamati, penggunaan warna cover buku ini juga di adopsi oleh poster-poster film KCB. Sebagaimana novelnya, film KCB juga dibagi menjadi 2 episode. Kangmoes pernah mengamati bahwa poster yang di tempel di berbagai penjuru kota jogja pada film pertama berlatarbelakang piramida dengan warna kuning kecoklatan khas padang pasir.


Sedangkan pada film KCB kedua, poster-poster yang disebar menggunakan background warna hijau dengan pemandangan sawah dan pohon2 kelapa dibelakangnya.

Mengapa dibuat demikian? Bagi penulis karena jalan cerita mengikuti sedang dimana Khairul Azzam (sang tokoh utama) berada. Meskipun demikian salah satu hal yang membuat kangmoes cukup tertarik adalah sudut pandang cerita tidak melulu membahas sang tokoh utama. Tokoh-tokoh sekunder (kalau boleh dikatakan begitu) mempunyai jalan cerita unik masing-masing yang mempengarui alur hidup sang tokoh utama. Dan lebih menariknya lagi, pada setiap cerita masing-masing tokoh, terdapat kandungan nilai-nilai moral dan nilai-nilai islam yang dipaparkan dengan sederhana namun mengena.

Sebagai contoh, adalah Fadil seorang teman Khairul Azzam secara bertahap berada dalam masalah percintaan. Ketidakmampuannya untuk mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis yang dicintainya membuatnya berhadapan dengan konflik batin. Ia harus menerima kenyataan bahwa gadis tersebut telah dipinang oleh temannya sendiri. Pahitnya, ternyata selama ini sang gadis juga mencintainya. Dalam keadaan seperti itu Azzam masuk untuk memberikan nasehat kepada Fadil yang hatinya sedang berkecamuk. Mengikhlaskan atau merebut kembali sang gadis. Tak disangka dalam kesempatan yang lain, justru Azzam sendiri yang kemudian berhadapan dengan kenyataan seperti yang dialami oleh Fadil.

Diantara ”belokan-belokan” cerita itulah kang Abik menyisipkan nilai-nilai Islam di Novel yang sering di sebut KCB ini. Sehingga secara sadar atau tidak pembaca telah mendapatkan ”asupan” ilmu yang ”bergizi”. Jika anda termasuk orang yang suka membaca Resensi Novel namun kurang bersemangat untuk membaca novelnya, kangmoes sarankan untuk melihat filmnya terlebih dahulu. Dari situ anda kemudian bisa membaca novelnya dengan lebih nyaman karena telah mendapatkan acuan cerita.

NB: Kangmoes tidak dibayar untuk membuat tulisan ini :) . Jadi resensi novel Ketika Cinta Bertasbih ini merupakan rekomendasi dari kangmoes.

Artikel Resensi Novel Ketika Cinta Bertasbih ini dipersembahkan oleh Kumpulan Artikel, Tips, Trik kangmoes.

Selasa, 26 April 2011

Sebuah Dialog Menjelang Pagi


  • “AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
  •  
  • Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
  •  
  • “Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.
  •  
  • Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
  •  
  • "Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
  •  
  • Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
  •  
  • "Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.
  •  
  • "Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.
  •  
  • Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
  •  
  • “Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
  •  
  • "Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.
  •  
  • Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
  •  
  • Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."
  •  
  • "Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
  •  
  • Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
  •  
  • "Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
  •  
  • "Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
  •  
  • "Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."
  •  
  • "Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
  •  
  • Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
  •  
  • "Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
  •  
  • "Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.
  •  
  • "Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."
  •  
  • Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.
  •  
  • Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...
  •  
  • Wallahu a'lam.
  • -----------
  • sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4

Minggu, 24 April 2011

Wasiat Terakhir Imam Al-Ghazali

Imam Ghazali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian beliau bertanya pada adiknya, “Hari apakah sekarang ini?” 
Adiknya pun menjawab, “Hari senin.”
Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, Menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya s…ambil berkata lirih, “Ya Allah, hamba mematuhi perintahMu,”
… dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya.Di bawah bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali ra., barangkali pada malam sebelumnya.
“Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku
Dengan nama Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging
Ini hanyalah rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu ,yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sbg kenangan
Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku
Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari ini , aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca
Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang2an, tidak lebih
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan
Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang
Janganlah takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya.